FALSAFAH IQRO’
MAKALAH
Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Tafsir Falsafi
Dosen Pengampu: Dr. H. Moh. In’amuzzahiddin, M.Ag.

Oleh:
Diana Mella Yussafina (104111042)
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALSONGO
SEMARANG
2012
I.
LATAR BELAKANG
Term iqra’ merupakan kata
pertama dari wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang
berarti “bacalah”, yaitu pada QS. Al-‘Alaq ayat 1 dan 3.
ù&tø%$# ÉOó™$$Î/ y7În/u‘ “Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ
ù&tø%$# y7š/u‘ur ãPtø.F{$# ÇÌÈ
Artinya: “1.
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah”.
Sungguh mengherankan, karena
perintah membaca ini ditujukan kepada orang yang tidak pernah membaca suatu
kitab sebelum turunnya Al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah dalam QS.
Al-Ankabut: 48,
$tBur |MZä. (#qè=÷Fs? `ÏB ¾Ï&Î#ö7s% `ÏB 5=»tGÏ. Ÿwur ¼çm’ÜèƒrB šÎYŠÏJu‹Î/ ( #]ŒÎ) z>$s?ö‘^w cqè=ÏÜö6ßJø9$# ÇÍÑÈ
Artinya: “Dan kamu
tidak pernah membaca sebelumnya (Al Quran) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak
(pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah
membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu)”.
Bahkan Nabi Muhammad adalah seorang yang ummi[1],
tidak mempunyai kemampuan untuk membaca dan menulis, diterangkan dalam QS.
Al-A’raf: 158,
ö@è%
$yg•ƒr'¯»tƒ
ÚZ$¨Z9$#
’ÎoTÎ)
ãAqß™u‘
«!$#
öNà6ö‹s9Î)
$·èŠÏHsd
“Ï%©!$#
¼çms9
Ûù=ãB
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
ÇÚö‘F{$#ur
( Iw tm»s9Î)
žwÎ)
uqèd
¾Ç‘ósãƒ
àM‹ÏJãƒur
( (#qãYÏB$t«sù
«!$$Î/
Ï&Î!qß™u‘ur
ÄcÓÉ<¨Y9$#
Çc’ÍhGW{$#
”Ï%©!$#
ÚÆÏB÷sãƒ
«!$$Î/
¾ÏmÏG»yJÎ=Ÿ2ur
çnqãèÎ7¨?$#ur
öNà6¯=yès9
šcr߉tGôgs?
ÇÊÎÑÈ
Artinya: “Katakanlah:
"Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, Yaitu
Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, Maka berimanlah kamu
kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada
kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya kamu mendapat
petunjuk".
Namun, keheranan ini akan sirna jika
diketahui arti kata iqra’ yang sebenarnya dan diketahui pula bahwa perintah
ini tidak hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad semata, tetapi juga kepada
seluruh umat manusia. Kata iqra’ atau perintah membaca memiliki makna
yang sangat mendalam dan strategis dalam ilmu pengetahuan. Dan realisasinya
merupakan kunci pembuka jalan kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Mengapa
demikian? Dalam makalah ini akan dijelaskan menganai makna iqra’ dan
juga falsafahnya. Terutama makna iqra’ dalam QS. Al-‘Alaq ayat 1 dan 3.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Makna Kata Iqra’
2.
Ayat-ayat
Tentang Iqra’
3.
Falsafah Iqra’
III.
PEMBAHASAN
A.
Makna Kata Iqra’
Menurut Quraish Shihab, kata iqra’ terambil dari kata kerja qara’a
(قرأ)
yang pada mulanya berarti “menghimpun”. Apabila kita merangkai huruf atau kata
kemudian kita mengucapkan rangkaian kata tersebut, maka kita telah menghimpunnya.
Arti asal kata ini menunjukkan bahwa iqra’, yang diterjemahkan dengan
“bacalah”, tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis yang dibaca, tidak
pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh prang lain. Karenanya, kita dapat
menemukan beraneka ragam arti dari kata tersebut dalam kamus-kamus bahasa,
antara lain, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri
sesuatu, dan sebagainya, yang semuanya bisa dikembalikan kepada hakikat
“menghimpun”.[2]
Menurut Yusuf Qardhawi, kata iqra’ secara etimologi berarti
membaca huruf-huruf yang tertulis dalam buku-buku. Sedangkan secara
terminologi, yakni membaca dalam arti yang lebih luas. Maksudnya membaca alam
semesta (ayat al-kaun).[3]
Sedangkan menurut Al-Maraghi sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin
Nata dalam bukunya yang berjudul “tafsir ayat-ayat pendidikan”, bahwa kata iqra’
dalam QS. Al-‘Alaq ayat 1 dapat diartikan “jadilah engkau (Muhammad)
seorang yang pandai membaca berkat kekuasaan dan kehendak Allah yang telah
menciptakanmu, walaupun sebelumnya engkau tidak dapat melakukannya”.[4]
Menurutnya pula, pengulangan kata iqra’ pada QS. ‘Alaq ayat
3 didasarkan pada alasan bahwa membaca itu tidak akan membekas dalam jiwa
kecuali dengan diulang-ulang dan membiasakannya sebagaimana dalam tradisi. Perintah
Tuhan untuk mengulang membaca berarti pula mengulangi apa yang dibaca. Dengan
cara demikian bacaan tersebut menjadi milik orang membacanya. Kata iqra’ mengandung
arti yang amat luas, seperti mengenali, mengidentifikasi, mengklasifikasi,
membandingkan, menganalisa, menyimpulkan, dan membuktikan.[5]
Dari
beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa makna iqra’ adalah
membaca segala sesuatu yang ada dihadapan kita, baik itu berupa tulisan atau
bacaan, ayat-ayat suci al-Qur’an, peristiwa-peristiwa yang terjadi di
lingkungan sekitar, fenomena alam, maupun dunia seisinya (alam semesta). Dan
bahwa membaca tidak cukup jika dilakukan hanya sekali saja, membaca harus
dilakukan secara berulang-ulang agar bisa sampai pada tingkat pemahaman yang
mendalam serta membekas dalam jiwa.
B.
Ayat-ayat
Tentang Iqra’
Dalam Al-Qur’an, kata iqra’ terulang sebanyak tiga kali.
Sedangkan ayat-ayat lainnya yang mengandung arti “membaca” hanyalah kata jadian
dari akar kata qara’a, dan juga dari akar kata lain, seperti kata tala.
Berikut ayat-ayatnya:
ù&tø%$# ÉOó™$$Î/ y7În/u‘ “Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
yang Menciptakan”. (QS. Al-‘Alaq:
1).
ù&tø%$# y7š/u‘ur ãPtø.F{$# ÇÌÈ
“Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha
pemurah”. (QS. Al-‘Alaq: 3).
ù&tø%$# y7t6»tGÏ. 4’s"x. y7Å¡øÿuZÎ/ tPöqu‹ø9$# y7ø‹n=tã $Y7ŠÅ¡ym ÇÊÍÈ
"Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu
sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu". (QS. Al-Isro’: 14).
#sŒÎ)ur ˜Ìè% ãb#uäöà)ø9$# (#qãèÏJtGó™$$sù ¼çms9 (#qçFÅÁRr&ur öNä3ª=yès9 tbqçHxqöè? ÇËÉÍÈ
“Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka
dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat
rahmat”. (QS. Al-A’raf: 204).
bÎ*sù
|MZä.
’Îû
7e7x©
!$£JÏiB
!$uZø9t“Rr&
šø‹s9Î)
È@t«ó¡sù
šúïÏ%©!$#
tbrâätø)tƒ
|=»tFÅ6ø9$#
`ÏB
y7Î=ö6s%
4 ô‰s)s9
š‚uä!%y`
‘,ysø9$#
`ÏB
šÎi/¢‘
Ÿxsù
£`tRqä3s?
z`ÏB
tûïÎŽtIôJßJø9$#
ÇÒÍÈ
“Maka
jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan
kepadamu, Maka Tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum
kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu
janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang ragu-ragu”.(QS. Al-Yunus: 94).
y7ù=Ï? àM»tƒ#uä «!$# $ydqè=÷FtR šø‹n=tã Èd,ysø9$$Î/ 4 y7¯RÎ)ur z`ÏJs9 šúüÎ=y™ößJø9$# ÇËÎËÈ
“Itu adalah ayat-ayat dari Allah, Kami bacakan
kepadamu dengan hak (benar) dan Sesungguhnya kamu benar-benar salah seorang di
antara nabi-nabi yang diutus”. (QS.
Al-Baqarah: 252).
×Aqß™u‘ z`ÏiB «!$# (#qè=÷Gtƒ $ZÿçtྠZot£gsÜ•B ÇËÈ
“(yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad)
yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al Quran)”. (QS.
Al-Bayyinah: 2).
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menggunakan akar kata qara’a
dan tala. Seperti pada QS. Al-Muzzammil: 20, QS. Al-Kahfi: 106, QS.
Ali Imran: 58, QS. Al-Isro’: 45, QS. Al-Haqqah: 19, QS. Al-Ankabut: 45, dan
lain-lain.
Ayat-ayat di atas meneragkan bahwa yang dimaksud iqra’ atau membaca
adalah membaca lembaran-lembaran suci yaitu al-Qur’an, kecuali pada QS.
al-‘Alaq ayat 1 dan 3, karena di dalamnya tidak dijelaskan maupun dispesifikkan objek bacaan yang dimaksudkan, sehingga dapat
dikatakan bahwa kata iqra’ tersebut memilliki objek yang bersifat umum,
yaitu tidak hanya membaca bacaan, tulisan atau pun al-Qur’an, tetapi juga membaca
yang lainnya, seperti membaca fenomena alam, peristiwa yang terjadi
dilingkungan sekitar, dan sebagainya.
C.
Falsafah Iqra’
1.
Pentingnya
Membaca
Jika diamati, objek mambaca pada ayat-ayat yang menggunakan akar
kata qara’a, terkadang berupa bacaan yang bersumber dari Allah, seperti
Al-Qur’an dan kitab suci sebelumnya, misalnya QS. Al-A’raf: 204, dan QS. Yunus:
94. Terkadang juga objeknya adalah suatu kitab yang merupakan himpunan karya
manusia atau dengan kata lain bukan bersumber dari Allah, misalnya QS.
Al-Isro’: 14.
Di sini juga terdapat perbedaan antara “membaca” yang menggunakan
akar kata qara’a dengan “membaca” yang menggunakan akar kata tala,
di mana kata terakhir ini digunakan untuk bacaan-bacaan yang sifatnya suci dan
pasti benar, misalnya QS. Al-Baqarah: 252, dan QS. Al-Bayyinah: 2.
Di lain segi, dapat dikemukakan suatu kaidah bahwa suatu kata kerja
dalam susunan redaksi yang tidak disebutkan objeknya, maka objek yang dimaksud
bersifat umum. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa karena dalam QS.
Al-‘Alaq kata qara’a digunakan dalam arti membaca, menelaah,
menyampaikan, dan sebagainya, dan karena objeknya tidak disebutkan sehingga
bersifat umum, maka objek kata tersebut mencakup segala yang dapat terjangkau,
baik itu ayat suci Al-Qur’an, alam raya, masyarakat, diri sendiri, majalah,
koran, dan sebagainya.[6]
Menurut Iskandar AG Soemabrata, dengan kata lain iqra’ juga
dapat dipersamakan dengan melihat, sekaligus mengamati dan memperhatikan, serta
merekam dalam ingatan objek apa saja yang ada dihadapan kita, sehingga nantinya
dapat mengambil manfaat dari apa yang kita perhatikan itu. Karena iqra’ (membaca)
sebenarnya tidak terbatas pada ayat-ayat yang tertulis saja (ayat-ayat
qauliyah), tetapi juga membaca ayat-ayat yang tidak tertulis yang ada pada alam
ini (ayat-ayat kauniyah).[7]
Dalam QS. Al-‘Alaq, perintah membaca, meneliti, menghimpun, dan
sebagainya dikaitkan dengan “bi ismi Rabbika” (dengan nama Tuhanmu).
Pengaitan ini merupakan syarat sehingga menuntut si pembaca bukan saja agar
membaca dengan ikhlas, tetapi juga antara lain memilih bahan-bahan bacaan yang
tidak mengantarnya kepada hal-hal yang bertentangan dengan “nama Allah” itu.
Karena yang memerintah membaca adalah Tuhan yang mendidik, memelihara,
mengembangkan, meningkatkan, dan memperbaiki keadaan makhluk-Nya.[8]
Demikianlah, Al-Qur’an secara dini menggarisbawahi pentingnya
“membaca” dan keharusan adanya keikhlasn serta kepandaian memilih bahan-bahan
bacaan yang tepat.
2.
Arti Kata Akram
dan Dorongan Al-Qur’an untuk Meningkatkan Minat Baca
Perintah membaca kedua ditemukan sekali lagi dalam wahyu pertama.
Tetapi, kali ini perintah tersebut dirangkaikan dengan “wa Rabbuka al-akram”.
Ayat ini antara lain merupakan dorongan untuk meningkatkan minat baca.
Dalam Al-Qur’an hanya dua kali ditemukan kata “al-akram”,
yaitu pada QS. Al-‘Alaq ayat 3 dan pada QS. Al-Hujarat ayat 13:
¨bÎ)
ö/ä3tBtò2r&
y‰YÏã
«!$#
öNä39s)ø?r&
4... ÇÊÌÈ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu”.
Kata “akram” yang berasal dari kata “karama”, biasanya
diterjemahkan dengan “Maha Pemurah” atau “Semulia-mulia”. Akan tetapi kata ini
digunakan oleh Al-Qur’an untuk menggambarkan segala sesuatu yang terpuji
menyangkut subjek yang disifatinya. Seperti lafal قولاكريما (QS. Al-Isro’: 23) dan lafal كريم رزق (QS. Al-Anfal: 4). Ucapan yang karim adalah ucapan yang
baik, enak didengar dan mudah dipahami. Sedangkan kata karim pada
rezeki, yang dimaksud adalah rezeki yang banyak, bermanfaat serta halal.[9]
Lafal “wa Rabbuka al-akram”, yang disifati di sini adalah Rabb
(Tuhan Pemelihara). Ayat ini adalah satu-satunya ayat di dalam Al-Qur’an yang
menyifati Tuhan dengan kata akram yang tidak dibatasi pengertiannya
dalam suatu hal tertentu. Lafal tersebut mengandung pegertian bahwa Tuhan dapat
menganugerahkan puncak dari segala yang terpuji bagi hamba-Nya yang membaca.[10]
Tentunya, kita sebagai makhluk tidak dapat menjangkau betapa besar karam
Tuhan. Bagaimanakah makhluk yang terbatas ini bisa menjangkau sifat Tuhan
Yang Maha Mutlak dan tidak terbatas itu? Meskipun demikian, sebagian darinya
dapat diungkapkan oleh Quraish Shihab sebagai berikut:
“Bacalah, Tuhanmu akan menganugerahkan dengan karam-Nya
(kemurahan-Nya) pengetahuan tentang apa yang engkau tidak ketahui”.
“Bacalah dan ulangi bacaan tersebut walupun objek bacaan sama,
niscaya Tuhanmu dengan karam-Nya akan memberikan pandangan atau pengertian baru
yang tadinya engkau belum peroleh pada bacaan pertama dalam objek tersebut”.
“Bacalah dan ulangi bacaan, Tuhanmu akan memberikan kepadamu
manfaat yang banyak tidak terhingga karena Dia akram (memiliki segala macam
kesempurnaan)”.[11]
Di sini kita dapat melihat perbedaan antara perintah membaca pada
ayat pertama dan perintah membaca pada ayat ketiga. Yakni, yang pertama
menjelaskan syarat yang harus dipenuhi seseorang ketika membaca, sedangkan
perintah kedua menjanjikan manfaat yang diperoleh dari bacaan tersebut.
3.
Peradaban yang
Dibangun Oleh “Makhluk Membaca”
Perintah membaca merupakan perintah yang paling berharga yang
diberikan kepada umat manusia. Karena, membaca merupakan jalan yang mengantar
manusia mencapai derajat kemanusiaannya yang sempurna. Sehingga tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa “membaca” adalah syarat utama guna membangun
peradaban. Dan bila diakui bahwa semakin luas pembacaan semakin tinggi
peradaban, begitu juga sebaliknya, maka tidak mustahil jika suatu ketika
manusia akan didefinisikan sebagai “makhluk membaca”, suatu definisi yang tidak
kurang nilai kebenarannya dari deinisi-definisi lainnya, seperti “makhluk sosial”
atau “makhluk berpikir”.[12]
Manusia bertugas sebagai “abd lillah” dan juga sebagai “khalifah
fi al-ardh”. Kedua fungsi ini adalah konsekuensi dari potensi keilmuan yang
dianugerahkan Allah kepada manusia yang merupakan persyaratan mutlak bagi kesempurnaan
pelaksanaan kedua tugas tersebut. Kekhalifahan menuntut hubungan antara manusia
dengan manusia, hubungan dengan alam serta hubungan dengan Allah. Kekhalifahan
juga menuntut kearifan. Karena, agar manusia mampu mencapai tujuan
diciptakannya sebagai khalifah, maka dibutuhkan adanya pengenalan terhadap alam
raya, yaitu dengan usaha qira’at (membaca, menelaah, mengkaji, meneliti,
dan lain-lain).[13]
Demikianlah, iqra’
merupakan isyarat utama dan pertama bagi keberhasilan manusia. Berdasarkan hal
tersebut, tidaklah mengherankan jika ia menjadi tuntunan pertama yang diberikan
oleh Allah swt. Kepada manusia.
IV.
PENUTUP
Iqra’ yang merupakan kata pertama dari wahyu pertama yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad, yaitu pada QS. Al-‘Alaq berarti “bacalah” (perintah
membaca). Iqra’ di sini tidak disebutkan objeknya secara khusus, oleh
karena itu objeknya bersifat umum. Membaca tidak mengharuskan adanya suatu teks
tertulis atau ayat-ayat yang tertulis saja (ayat al-qauliyah), tetapi juga
membaca alam semesta atau ayat-ayat yang tidak tertulis yang ada pada alam ini
(ayat al-kauniyah).
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang
menciptakan”, merupakan
perintah membaca yang mengharuskan pembaca ikhlas melakukannya hanya karena
Allah semata. Sebab yang memerintah adalah Tuhan yang mendidik, memelihara,
mengembangkan, meningkatkan dan memperbaiki keadaan makhluk-Nya.
“Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah”. Menggambarkan manfaat yang akan
diperoleh pembaca dari apa yang dibaca. Allah menjanjikan bahwa pada saat
seseorang membaca dengan ikhlas karena Allah, maka Allah akan menganugerahkan
kepadanya ilmu pengetahuan, pemahaman-pemahaman, dan wawasan-wawasan baru,
walaupun yang dibaca itu-itu juga.
Demikianlah, iqra’ merupakan
syarat pertama dan utama bagi keberhasilan manusia dan disinilah letak mengapa
membaca memiliki makna yang mendalam dan strategis dalam lmu pengetahuan.
Karena seseorang tidak akan memperoleh pengetahuan tanpa membaca dan membaca merupakan
jalan yang mengantar manusia mencapai derajat kemanusiaannya, sehingga manusia
memiliki peradaban yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi,
Ahmad Musthafa, Terjemahan Tafsir Al-Maraghi, Semarang; Toha
Putra, 1985.
Munawwir,
Ahmad Warson, Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta; Ponpes al-Munawwir,
1984.
Nata,
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, Jakarta, Pt. Raja Grafindo
Persada, 2002.
Qardhawi,
Yusuf, al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta,
Gema Insani, 1998.
Shihab,
Quraish, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung, Mizan Pustaka, 2007.
______________,
Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Tafsir Atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan
Turunnya, Bandung, Pustaka Hidayah, 1997.
Soemabrata,
Iskandar AG, Pesan-pesan Numerik Al-Qur’an, Jakarta, Republika, 2007.
Watt,
W. Wontgomery, Pengantar Studi Al-Qur’an, Penyempurnaan Atas Karya Bell, terj.
Taufiq Adnan Amal, Jakarta; Rajawali Pers, 1995.
[1] Secara bahasa ummi
dapat diartikan sebagai orang yang tidak bisa membaca dan menulis. (Lihat
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta; Ponpes
al-Munawwir, 1984), hlm. 43).
Sementara itu, menurut Wontgomery Watt bahwa Nabi Muhammad sebagai
seorang yang ummi bukan dalam pengertian tidak bisa membaca dan menulis.
Karena, term ummi yang terdapat dalam beberapa ayat al-Qur’an kurang
tepat kalau diartikan sebagai buta huruf, tetapi term ummi lebih tepat
diartikan sebagai “orang-orang yang tidak memiliki kitab suci tertulis”.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa kata ummi berasal dari
bahasa Hebrew (Ibrani) ummot h-‘olam yang kemudian menjadi ummi dalam
bahasa Arab, yang berarti “pribumi” (native). Jadi, Nabi Muhammad
dikatakan sebagai seorang yang ummi berarti beliau seorang non-Yahudi,
tetapi seorang nabi yang berasal dari bangsanya sendiri, yaitu Arab. (Lihat, W.
Wontgomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur’an, Penyempurnaan Atas Karya Bell, terj.
Taufiq Adnan Amal (Jakarta; Rajawali Pers, 1995), hlm. 51-52).
[2] Quraish
Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Tafsir Atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1997), hlm. 77-78.
[3] Yusuf
Qardhawi, al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta,
Gema Insani, 1998), hlm. 235.
[4] Dr. H. Abuddin
Nata, MA., Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta, Pt. Raja Grafindo
Persada, 2002), hlm. 43. Lihat juga, Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemahan
Tafsir Al-Maraghi, (Semarang; Toha Putra, 1985), hlm. 326-329.
[5] Ibid., hlm.
48.
[6] Qurash Shihab,
Membumikan Al-Qur’an : Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung,
Mizan Pustaka, 2007), hlm. 168.
[7] Iskandar AG
Soemabrata, Pesan-pesan Numerik Al-Qur’an, (Jakarta, Republika, 2007),
hlm. 99.
[8] Quraish
Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Tafsir Atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya, hlm. 83.
[9] Ibid., hlm.
95
[10] Qurash Shihab,
Membumikan Al-Qur’an : Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat,
hlm. 169.
[11] Ibid., hlm.
170.
[12] Ibid., hlm.
170.
[13] Qurash Shihab,
Membumikan Al-Qur’an : Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat,
hlm. 171.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar